Aksi Petani Tuntut Keadilan Agraria |
Oleh: Firmansyah Tasril
Siapa menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan. siapa menguasai sarana kehidupan, ia menguasai manusia!
Barangkali motto inilah yang mengantarkan Christoper Columbus secara filosofis mendarat di sebuah benua yang selanjutnya di berinama Amerika. Dari penemuan ini jualah hasrat akan penguasaan sumber-sumber kehidupan dan sumberdaya alam mulai tak tertahankan. Sehingga penduduk asli benua harus diperangi, tersingkir dan kehilangan akan hak atas tanah moyang (ulayat) dan sumber kehidupan.
Ekspansi fisik dan kekuatan bersenjata merupakan metode efektif dalam menguasai hak orang lain, lalu dibuatlah legalisasi kepemilikan atas hak orang lain itu dengan menggunakan pendekatan hukum. Lain kata, ‘merampok’ tapi dianggap sah secara hukum. Aneh bukan?!
Metode dengan penggunaan kekuatan senjata adalah metode konvensional yang dilakukan beberapa abad yang lalu. Artinya, hasrat untuk menguasai hak orang lain tersebut hingga saat ini tetap saja hidup dan mengakar dengan metode yang seolah manusiawi dan diakui secara yuridis.
Di Indonesia, permasalahan pencamplokan tanah oleh kelompok kuat terhadap kelompok lemah sangatlah panjang dan tebal jika kita rajin membukukan sejarah menyedihkan itu. Sayangnya, kita enggan mengumpulkan catatan-catatan kelam itu menjadi sebuah refrensi penting bagi kedaulatan rakyat dan negri ini.
Kita semua abai bahwa metode ‘perampokan’ dan sah secara hukum yang dilakukan oleh kelompok kuat (relasi penguasa dan pengusaha) tentu merugikan rakyat tak pernah dijadikan pelajaran perbaikan bagi pembelaan hak-hak kaum lemah.
Sebut saja kasus di Kuansing-Riau sengketa rakyat dengan perkebunan yang menewaskan satu orang ibu, akibat tembakan peluru dari aparat keamanan. Serta ratusan orang petani yang terpaksa menjalani vonis pengadilan karena menuntut hak-hak mereka.
Cita-cita Revolusi Indonesia
Jika boleh saya melihat kembali pada cita-cita revolusi Indonesia diawal kemerdekaan yakni, mengubah susunan masyarakat, yaitu dari struktur masyarakat warisan feodalisme dan kolonialisme, menjadi suatu susunan masyarakat yang merata demokratis adil dan sejahtera.
Saat ini Indonesia barulah merdeka pada kondisi kemerdekaan politis yakni mempunyai pemerintahan sendiri. Namun, lanjutan dari adil dan sejahtera tentu masih jauh panggang dari api. Mengutip kata Bung Karno Revolusi belum selesai!!
Akses rakyat terhadap sumber daya alam masih sangatlah terbatas, negeri ini terlalu begitu mengistimewakan kepentingan pemodal (yang notebenenya adalah individu per orangan). Simak saja ratusan perusahaan asing dan local memiliki akses tanah yang luar biasa, ratusan ribu hektar. Baik itu dikuasai oleh pertambangan dalam bentuk konsesi, kuasa pertambangan, dan kontrak karya. Dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang panjang masanya hingga 35 tahun bahkan 95 tahun.
Sebagian ilmuwan kita mengapresiasi positif banyaknya investasi-investasi asing tersebut, mereka percaya dengan teori multiple trickle effect. Teori tetesan kebawah, mereka meyakini masyarakat akan tersejahterakan oleh investasi besar tersebut.
Namun fakta yang terjadi, justru masyarakat petani disepinggiran kawasan konsesi termiskinkan. Rakyat hanya kebagian kesengsaraan, hilangnya akses mereka terhadap sumber daya alam, akses pengelolaan tanah, akses hidup sehat, apalgi adil dan merata. Kalimantan misalnya, merupakan penghasil batubara terbesar di Indonesia, namun desa-desa disepinggir kawasan mengalami gelap gulita atau krisis listrik, dan kemiskinan.
Konflik-konflik perkebunan skala besar kerap terjadi. Perlawanan para petani yang kehilangan akses terhadap tanah bangkit dengan kesadaran positif. Jangankan untuk kelola peningkatan kesejahteraan, untuk Tempat Pemakaman Umum (TPU) saja mereka tidak memiliki lahan.
Konflik rakyat, pengusaha, dan pemerintah hingga saat ini masih saja terjadi di nusantara ini. Sialnya, lagi-lagi rakyat dalam kondisi akhir yang menjadi pihak pecundang. Hal ini diperkuat dengan regulasi yang lebih pro kepada pengusaha.
Awal proklamasi kemerdekaan, para pendiri negeri ini menggulirkan upaya Reforma Agraria, membagikan tanah secara adil kepada rakyat yang melahirkan UU Nomor 5 tahun 1960. (UU Pokok Agraaria-UUPA) UU ini banyak diakui kalangan adalah UU yang benar-benar Pro-rakyat.
Namun, sayangnya kekuatan UUPA ini semakin dikebiri oleh beberapa kepentingan UU pesanan asing. Ketiga UU tersebut adalah UU Penanaman modal, UU Pokok Kehutanan, dan UU pertambangan. Ketiga UU inilah yang merupakan cikal bakal dari kacau balaunya pengelolaan agrarian yang memarjinalkan rakyat lemah di Indonesia.
Sebagai ilustrasi Bengkulu dengan luasan 1.9 juta hektar hanya 15 persen saja kawasan propinsi ini yang menjadi wilayah kelola rakyat. Selebihnya dikuasai oleh kuasa pertambangan dan HGU perkebunan. Sudah seharusnya, Pemda setempat berfikir ulang mengantisipasi hal ini, mengingat 80 persen penduduk propinsi ini adalah petani, artinya kebutuhan dasar mereka adalah tanah.
Bangkitnya Perlawanan Rakyat
Jika mereka terpencar mereka tidak akan merubuhkan gunung. Jika mereka bersatu bumi pun mampu mereka hentikan berputar. Demikianlah jika rakyat yang selama ini dalam ketertindasan, kejemuan hidup, ketidakadilan, dan kesengsaraan bangkit melawan. Hal ini akan bertambah dengan semakin luasnya jarak pemisah antara kaya dan miskin. Munculnya petani-petani cerdas, kritis dan terpelajar adalah awal daripada perlawanan itu.
Komentar
Posting Komentar