Petani,Cangkul dan Langit Biru |
Esai Exsan Ali Setyonugroho
“Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka buat kaum proletar…di sana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga, serta antara penjajah dan terjajah.” (Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid I)
Petani merupakan soko guru kehidupan. Tanpa petani seorang presiden sekalipun tidak dapat hidup. Karena semua makanan yang tersaji di meja makan seperti nasi, sayur, tempe, tahu, sampai singkong semua berawal dari keringat petani. Petani merupakan manusia-manusia mulia yang hidup di muka bumi ini. Satu sisi ia bisa hidup mandiri, sisi lain dia juga menghidupi orang lain dengan hasil pertaniannya.
Namun demikian, kematian Salim Kancil seorang petani dari Lumajang, tersingkirnya petani Urutsewu, Kendeng, Batang dari tanahnya, dll, memberikan isyarat bagi kita bahwa nasib petani kini terancam kesejahteraannya. Belum lagi kasus di Kulon Progo, Kendal, Demak, Banyuwangi, dan ratusan tempat lainnya di Indonesia membuat hati kita semakin pilu. Petani adalah produsen pangan, namun merupakan kelompok termiskin di Indonesia, tanpa perlindungan ekonomi dan sosial yang memadahi. Dalam hal ini, kedaulatan petani kita pertanyakan.
Sudah jelas nasib petani sangat kontras dengan jasanya menghidupi negeri. Sejak era konolial sampai reformasi petani selalu dirundung duka. Masa penjajahan Belanda yang melelahkan telah membuat petani menjadi profesi yang dijauhi orang. Padahal penjajah dan pembesar pribumi sekalipun hidup dan bisa makan dari petani. Narasi menyedihkan petani era kolonial bermula saat VOC mengklaim atas hasil tanah, pengerahan tenaga kerja, dan pengumpulan pajak. Ini merupakan keberhasilan VOC dalam menancapkan panji-panji kolonialisme dan imperialisme di Hindia pada saat itu. Rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor dengan pemaksaan dan kekerasan. Harga diri rakyat terinjak habis saat itu.
Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. UU Agraria 1870 diberhentikan praktiknya pada 1945 pasca proklamasi kemerdekaan. Rakyat sendiri menginginkan pembagian tanah secara rata atau landreform. Gayung bersambut, Presiden Soekarno menyadari betapa pentingnya nasib kaum tani sebagai moda revolusi sosial di Indoensia. Oleh sebab itu Presiden Soekarno membentuk tim agraria untuk merumuskan suatu undang-undang tentang agraria sehingga mampu menjembatani masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) merupakan bentuk konkret keberpihakan Presiden Soekarno terhadap nasib kaum tani di Indonesia. Ia sadar bahwa kedaulatan petani dipengaruhi kepemilikan atas tanah.
Nafas kegembiraan petani akibat landreform ternyata tidak berumur panjang. Akibat situasi politik yang panas saat itu meletuslah G30S membuat Soekarno lengser digantikan Soeharto dengan Orde Baru-nya. Meskipun UUPA 1960 masih berlaku, tetapi rezim Orde Baru yang tumbuh atas dasar modal multinasional menerbitkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) No.1 tahun 1967. Sejak saat itu, kedaulatan petani atas tanahnya tidak juntrung rimbanya. Lambat laun UUPA dan landreform secara sitematis disingkirkan oleh rezim Orde Baru, paling tidak sejak 1967 dengan dikeluarkannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) maka UUPA masuk dalam peti es.
Landreform yang semula merupakan agenda bangsa telah distigmaisasi sebagai produk PKI dan perlu diberhentikan. Akibatnya sejumlah tuan tanah mencoba mendapatkan tanahnya kembali. Mereka bahkan mendapatkan dukungan langsung dari militer dan otoritas lokal. Maka selama 1966 sampai 1967 sekitar 150.000 Ha tanah diperkirakan secara tidak sah jatuh ke tangan pemilik sebelumnya atau jatuh ke tangan orang ke tiga, dalam banyak kasus adalah militer. Juga banyak kasus tanah tetap tidak tergarap ditinggal terlantar setelah pemilik baru dibunuh.
Revolusi Hijau yang merupakan produk kapitalistik menjadi mercusuar bagi pemerintahan Orde Baru. mereka menggenjot produksi tanpa pembenahan terlebih dahulu ketimpangan penguasaan tanah. Praktik pertanian menggambarkan jiwa kapitalistik yang bermesraan dengan pemilik modal tanpa memperdulikan kondisi sosio-kultural di masyarakat. Dalam Revolusi Hijau benih padi unggulan diimpor dari Filipina dan pengucuran kredit untuk petani diserahkan kepada perusahaan asing. Mereka perusahaan asing menciptakan benih, pupuk, traktor, sampai virus demi keuntungan kapital. Revolusi Hijau juga membuat petani kehilangan kedaulatannya atas bibit, pupuk, luku, dll.
Berdirinya Orde Baru disesuaikan dengan dekte modal multinasional, akibatnya model pembangunannya penuh dengan saran dari lembaga multinasional tersebut. Seperti dalam kasus proyek Kedung Ombo, Bank Dunia memiliki peranan penting. Akibatnya pembangunan itu banyak menggusur ribuan petani dan puluhan desa. Padahal setelah Orde Baru tumbang waduk itu tidak lagi terurus dan lambat laun mengering. Ini meperlihatkan tanah tidak hanya menjadi komoditas, tetapi menjadi wilayah yang asing bagi penggarap dan petani (Lutfhi,2010:19). Pengetahuan lokal petani dicampakan, diganti dengan pengetahuan reproduksi kapital yang memperlakukan tanah dan air sebagai komoditas.
Bahkan sampai masa Reformasi sekalipun sebaran kasus agraria yang melibatkan jutaan petani di Indonesia tetaplah ada. Rincianya sebagai berikut: Pulau Sumatera terdapat 552 kasus; Jawa ada 991 kasus; Kalimantan 102 kasus; Sulawesi 149 kasus; Bali dan Nusa Tenggara 90 kasus; Maluku 6 kasus; dan Papua 28 kasus. Sedangkan kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian, TNI, maupun perusahaan terhadap petani yang terjadi dalam kurun 2005-2007 terdapat 9 kasus yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian ada 13 kasus kriminalisasi yang menimpa petani dari kurun waktu 2004-2010 (Sajogyo Institute, 2010). Belum lagi kasus-kasus yang belum tercatat seperti yang terjadi di Blora konflik antara petani dan Pihak Perhutani yang mengakibatkan puluhan petani meninggal dunia.
Ada juga kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan terhadap petani lantaran petani tidak menggunakan bibit yang sudah disediakan oleh perusahaan. Petani mencoba mengembangkan bibit yang mereka ciptakan sendiri sehingga membuat perusahaan naik pitam dengan alasan hak cipta. Seperti yang terjadi di Magetan pada tahun 2004-2007 terjadi kriminalisasi yang dilakukan oleh PT. BISI terhadap petani di sana dan di Pekalongan dilakukan oleh PTPN IX. Inilah bentuk kedaulatan petani semakin terdegradasi dari tahun ke tahun meskipun bangsa Indonesia telah merdeka namun cengkraman modal yang mencekik petani belumlah lepas bahkan semakin kuat.
Ada juga kriminalisasi yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Di Kendal akibat konflik lahan tukar guling yang dilakukan oleh PT.Semen Indonesia kepada perhutani ternyata memakan tanah negara yang sudah sejak lama digarap oleh warga di Desa Surokonto Wetan, Kec. Pageruyung, Kab. Kendal. Padahal tanah negara tidak boleh dijadikan tukar guling ataupun diperjualbelikan. Petani melawannya. Akibatnya Nur Aziz yang memimpin perlawanan petani terhadap perhutani dipanggil pihak kepolisian dan dikriminalisasi. Rumahnya sering didatangi intel dan warga sekitar mulai resah. Puncaknya ketika ratusan Brimob yang diterjunkan langsung untuk mengamankan prosesi penanaman pohon simbolik yang dilakukan oleh Perhutani, Pemerintah, Kab. Kendal dan PT. Semen Indonesia. Dalam pidatonya, Bupati Kendal memberikan analogi yang intinya rakyat Surokonto Wetan telah menyerobot tanah haram. Meskipun demikian warga tetap solid untuk bersolidaritas demi tanah yang sejak ratusan tahun digarap oleh nenek moyangnya dulu.
Belum lagi akhir-akhir ini banyak petani menyatakan berperang terhadap perusahaan semen yang akan mendirikan pabrik di wilayah pertanian aktif. Di Rembang ada PT. Semen Indonesia, di Pati ada PT. Sahabat Mulia Sakti (anak perusahaan Indocement), di Gombong ada PT. Semen Gombong, dan masih banyak lagi. Padahal pasokan semen di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami surplus, itu artinya mereka ingin menjangkau pangsa ekspor. Padahal rakyat membutuhkan pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhannya. Ini mengingatkan kita pada kebijakan tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial yang membiarkan rakyat miskin kelaparan sedangkan pejabat kolonial mendapatkan untung dari ekspor produk-produk pertanian. Pemerintah yang seharusnya melindungi tanah produktif petani malah menjualnya kepada pemilik modal. Pemerintah lebih memilih pertambangan yang bersifat sementara dibandingkan dengan pertanian yang mampu menghidupi seluruh orang di dunia sejak jaman purba sampai sekarang.
Kematian Salim Kancil pada pertengahan 2015, pembangunan PLTU Batang, konflik penyerobotan lahan oleh TNI di Urutsewu, konflik Pabrik Semen, pembangunan bandara di Kulon Progo, Tembang pasir besi di Lumajang dan Banyuwangi, nasib ribuan petani Jambi yang long march ke Jakarta menuntut keadilan dan ratusan kasus-kasus agraria lainnya yang melibatkan petani sebagai korban telah menjadi bukti nyata bahwa nasib petani di Indonesia telah terdegradasi. Sudah saatnya revolusi agraria diberlakukan di Indonesia, tinggal menunggu kapan waktunya, yang pasti rakyat telah lelah dengan janji manis obralan para calon pemimpi(n) yang tak kunjung terealisasi. Seperti kata Tan Malaka “Indonesia adalah tanah emas” memiliki iklim, air, dan tekstur tanah yang sangat bagus untuk pertanian, namun mengapa nasib petani Indonesia sungguh merana? []
Exsan Ali Setyonugroho– Mahasiswa Jurusan Sejarah, FIS, Universitas Negeri Semarang, angkatan 2012
Komentar
Posting Komentar