Langsung ke konten utama

PENDIDIKAN TINGGI, MIMPI ANAK PETANI MELARAT

Anak Desa

Oleh : Boyan

Pendidikan yang membumi merupakan pendidikan yang dialogis. Pendidikan yang membumi ini melihat antara teks (teori) pendidikan dengan konteks (realitas social). Di desa kecil di sebuah kawasan Jawa Tengah ada sebuah tipe sekolah menarik, pendidikan untuk anak petani. Dengan cita-cita utama mewujudkan sebuah system pendidikan yang berguna bagi kehidupan.

Pendidikan anak petani merupakan pendidikan pemberontakan. Sebuah bentuk pendidikan yang lain dari apa yang kita saksikan selama ini. Dimana pendidikan hanya mengajarkan bagaimana seseorang tergantung pada universitas (SMA) dan tekhnologi (SMK).

Pendidikan alternative membetot segala silang sengkarut pendidikan yang selama ini hanya bagus di teks (KTSP) tanpa melihat situasi riil yang dihadapi masyarakat. Model pendidikan alternative hadir dari kebutuhan masyarakat yang butuh kelanjutan. Melanjutkan generasi tani yang hamper mati akibat hilangnya potensi desa karena ditinggal sebagian terbesar tenaga kerja karena anak desa hijrah ke kota.

Kritisisme kebijakan pemerintah dengan kurikulum yang ambigu, menjadi jalan pemecahan masalah. Sekolah alternative merupakan gambaran perlawanan yang ekstrim dari kaum tertindas. Petani yang notabene selama ini hanya menjadi obyek kebijakan. Keberanian melakukan koreksi dan pengembangan nalar kritis semacam inilah yang seharusnya kedepan kita kembangkan.

Untuk apa membebani murid dengan kurikulum yang berat bagi murid? Jika setiap komunitas pasti punya permasalahan yang khas. Sudah seharusnya pendidikan yang mengurai segala permasalahan ini. Pendidikan yang mengajari anak desa bertani, mengembangkan perikanan dan potensi-potensi desa lain yang selama ini dilupakan.

Percuma saja memberikan murid pendidikan yang terlalu modern. Toh, masih kita sakssikan sebagain terbesar dari masyarakat kita dalam posisi yang konservatif. Dialog teks-dan konteks ini menjadi penting sebagai jembatan keseimbangan agar pendidikan terus membumi. Mengajari orang desa bagaimana sejarah desa dll.

Barangkali terlampau lama kita menahan kritik untuk tidak mengatakan bahwa pendidikan kita gagal secara structural. Mengobservasi sekitar dan mengidentifikasi hal-hal yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam pertemuan di kelas. Guru bertemu dengan murid untuk membahas permasalahn yang dialami bersama. Misal, bagaimana menangani hama tikus yang menyerang ladang hingga petani di desa kami mengalami puso panen.

Jangan mengharapkan pendidikan akan maju kalau selamanya kita tergantung pada pemerintah. Pendidikan sewajarnya menempatkan pemerintah dalam posisi teman sehingga koreksi atas kebijakan yang di pandang terlalu ideal dimungkinkan. Bagaimana mungkin sertifikasi akan menghasilkan guru yang punya kualifikasi mumpuni kalau dalam praktik kita saksikan banyak guru kita yang beli ijazah dan kuliah seenaknya.

Hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sementara kita saksikan bagaimana akses pendidikan yang berkualitas hanya didapat mereka yang mampu membayar sejumlah tertentu. Lantas, akademisi macam apakah dari pendidikan yang dikomoditisasi semacam ini?

Sederhana namun kompleks, karena pendidikan yang diharapkan tidak ada ukuran yang jelas. Bahwa pendidikan yang di harapkan adalah pendidikan yang layak jual? Berarti kita telah melakukan kesalahan dengan menjadikan murid sebagai calon-calon konsumen atau buruh-buruh industry.

Kita akan meloncat jauh ke depan menuju pendidikan harapan. Pendidikan yang mampu mengenali permasalahan bersama masyarakat dimana sekolah itu berada. Jika lokasi kebetulan di dekat pantai, ajarkan pendidikan kemaritiman, jika pendidikan bertempat agraris ajarkan anak-anak bagaimana bertani yang baik dan tidak meracuni (pertanian organic).
Dan akhirnya akan kita sambut sebuah kemandirian bangsa melalui pendidikan. Pada watu generasi desa berisi orang-orang yang benar-benar mengenal dan mampu bersumbangsih bagi permasalahan desa. Sebuah semangat yang datang dari permasalahan sehari-hari. Pendidikan yang melalui pergulatan panjang, tak berhenti berinovasi dan berkreasi.

Ketapang, Salatiga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EVOLUSI PERTANIAN, REVOLUSI INDUSTRI DAN MASA DEPAN PETANI

Ilustrasi Hingga abad 18, semua petani di belahan bumi ini masih menggunakan pertanian alami. Revolusi industri yang terjadi di Eropa telah mengubah wajah dunia menjadi serba cepat, massal dan global. Merkantilisme yang bergerak diawal abad 16 yang ditandai dengan penjelajahan samudera dan benua baru oleh bangsa eropa semakin menemukan pasangannya setelah revolusi industri pecah di prancis dan inggris. Pelan-pelan merkantilisme berubah menjadi kolonialisme di bumi Asia, Afrika dan amerika latin. Pengenalan berbagai macam tanaman perkebunan untuk kepentingan eropa dikembangkan secara besar-besaran di negeri jajahan , termasuk Indonesia. Orientasi pertanian berubah dari upaya memenuhi kebutuhan pangan domestik menjadi kebutuhan ekspor. Perlahan tapi pasti, rakyat dipaksa untuk membuka hutan menjadi perkebunan teh, karet, kina, kopi, kakau dan lainnya. pemanfaatan lahan untuk perkebunan semakin menjauhkan petani terhadap jenis tanaman pangan untuk kebutuhan keluarga. Pada situasi ini

KONSEP REFORMA AGRARIA DIPERTANYAKAN

Tanah Untuk Rakyat Konsep reforma agraria yang kini diusung pemerintah untuk menjalankan kebijakan pemerataan, dipertanyakan. Sebab tidak mencakup syarat baku reforma agraria sebagaimana dilakukan di sejumlah negara. Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Eko Cahyono di Bogor, Rabu (15/2), menyatakan, reforma agraria merupakan konsep yang sudah baku. Reforma agraria mensyaratkan minimal empat faktor, yakni restrukturisasi dari ketimpangan struktur agraria, penyelesaian konflik-konflik agraria, cakupan lintas sektoral, dan ditujukan untuk petani miskin dan kelompok masyarakat tak bertanah. Sehingga dari penjelasan pemerintah, konsep reforma agraria yang dianut, hanyalah kebijakan agraria dan bukan reforma agraria yang sesungguhnya. Alasannya, kebijakan yang digagas pemerintah tidak benar-benar merombak struktur agraria, tetapi lebih banyak soal sertifikasi lahan. ”Kebijakan agraria yang direncanakan pemerintah memang positif. Tapi tolong jangan menggunakan istilah kebijakan reforma ag