Langsung ke konten utama

REFORMASI AGRARIA DAN HARAPAN PETANI

Ilustrasi Petani


Oleh: Panji Dafa
Mahasiswa Perikanan UGM 2016

Bagi negara-negara agraris, masalah tanah pada hakikatnya adalah masalah fundamental. Sudah disadari pula bahwa permasalahan dalam ranah agraria merupakan permasalahan yang rumit dan peka, menyangkut berbagai macam sendi kehidupan.

Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan antardisiplin ilmu. Kalau kita telaah bersama, sepanjang sejarah, sejak manusia berburu dan meramu, lalu bertani secara nomaden, mengembara sampai pada bercocok tanam secara menetap, peguasaan dan pemanfaatan tanah sering kali menimbulkan polemik sengketa. Dengan berlangsungnya waktu, di dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang sistem pembagian pekerjaan yang makin lama makin menjadi rumit.

Dengan timbulnya kota-kota, atau pusat-pusat kekuasaan, akhirnya tidak semua manusia mengolah tanah. Mereka yang berada di kota sibuk dengan berbagai kegiatan lain, sedangkan mereka yang di desa bekerja menggarap tanah dan menghasilkan bahan pangan bagi seluruh umat manusia. Sepanjang sejarah, sebenarnya merekalah, yaitu petani dan buruh tani, yang menentukan hidup mati kita semua. Namun, mengapa biasanya, bencana kurang pangan terjadi bukan di kota tetapi justru di pedesaan tempat pangan dihasilkan?

Setelah 15 tahun Indonesia merdeka, pada tanggal 24 September lahirlah Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang kemudian terkenal dengan istilah UUPA. Lahirnya UUPA melalui perjalanan yang rumit. Kelahirannya dilatarbelakangi oleh suatu proses yang panjang karena setelah Indonesia merdeka, sejak awal sebenarnya pemerintah telah mulai memerhatikan masalah agraria.

Pemerintah Republik Indonesia telah menyadari bahwa suatu program pembangunan, terutama yang memihak rakyat, perlu dilandasi terlebih dahulu dengan “penataan kembali masalah pertanahan”. Keseriusan pemerintah terlihat sejak dimulainya pembentukan Panitia Agraria Yogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Suwahjo (1956), Rancangan Sunarjo (1958), dan akhirnya Rancangan Sadjarwo (1960).

Kedua, dengan berlakunya UUPA 1960, seharusnya semua dasar hukum agraria yang bersumber dari Agrarische Wet 1870 digantikan oleh yang bersumber dari UUPA 1960.UUPA 1960 merupakan hasil usaha meletakkan dasar strategi pembangunan dan mencerminkan keberpihakan kepada kepentingan rakyat karena UUPA berisi ketentuan-ketentuan pokok yang seharusnya diurai melalui peraturan turunan. Dalam keadaan extraordinary, pemerintah lantas menerbitkan Undang-undang No. 56 Prp. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (atau yang sering dikenal dengan UU Landreform).

Sejak Soeharto didapuk menjadi presiden melengserkan Soekarno, alih-alih semangat Reforma Agraria dilanjutkan, justru membuat kebijakan yang sama sekali berbeda. Kebijakan yang dirancang pada masa Orde Baru tidak menempatkan Reforma Agraria sebagai dasar pembangunan karena adanya trauma peristiwa 1965 dan tuduhan bahwa UUPA 1960 adalah buatan PKI. Tuduhan ini baru dilegitimasi secara legal formal setelah keluarnya TAP MPR No. IV/1978.

Ketiga, pengambilan keputusan dalam rezim bersifat birokratis-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijakan yang memerlukan suatu proses bargaining yang lama di antara berbagai kelompok kepentingan. Keempat, massa didemobilisasi. Terakhir, kelima, untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melancarkan tindakan-tindakan yang represif.

Semasa Indonesia di bawah rezim Orde Baru, kita menyaksikan banyak sekali kasus tentang berbagai jenis hak yang diberikan tersebut berada di atas tanah yang telah dikuasai oleh penduduk secara turun temurun. Konsekuensi dari pemberian berbagai jenis hak ini adalah terjadinya pemusatan kepenguasaan atas tanah yang luas. Sisi lain dari pemusatan ini adalah terlepasnya hak untuk mengakses dan mengontrol oleh banyak penduduk atas tanah yang dikuasai sebelumnya.

Dalam proses peralihan akses dan kontrol atas tanah dari penduduk ke pihak lain dipenuhi oleh berbagai metode yang digunakan oleh institusi politik otoritarian, seperti penggunaan instrumen hukum negara, manipulasi, dan kekerasan. Dalam artian lain, melalui kekuasaannya yang tirani, Orde Baru menciptakan banyak persoalan bagi masyarakat.

Rezim Orde Baru pun akhirnya lengser. Seiring perubahan peta konstelasi politik, iklim demokrasi pun menguat. Sejak itu, perubahan kehidupan mendasar berkembang pada hampir seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu pula dengan nasib pembaruan agraria.

Keseriusan pemerintah pun tercemin ketika menerbitkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap Undang-Undang Pokok Agraria. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan pada tahun 1998, baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.

Sepak Terjang Pembangunan Era Reformasi

Pembangunan pertanian era Reformasi memasuki babak baru. Perubahan pada berbagai bidang pun dapat kita saksikan, misalnya ekonomi, politik, dan hukum. Karena kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengemukakan pendapat kembali menggema, munculah peta kekuatan politik baru. Hal ini berimplikasi pada terlihatnya peta konstelasi dalam menggapai permasalahan agraria yang menimbulkan semacam dikotomi.

Dikotomi tersebut terlihat ketika partai beramai-ramai mencanangkan program untuk pembangunan pertanian, ada yang pro Reforma Agraria dan ada pula yang kontra. Kelompok yang pro juga dinilai tidak meletakkannya pada permasalahan yang sentral. Sementara itu, kelompok yang kontra jumlahnya lebih banyak.

Kelihatannya, selama bertahun-tahun ribuan konflik agraria belum bisa membuka mata dan mengetuk hati nurani mereka bahwa masalah agraria adalah masalah yang sangat mendasar. Karena masalah agraria adalah masalah segala-galanya, perlu adanya peninjauan dari berbagai displin ilmu untuk memecahkannya. Masalahnya, para elit politik kita terlalu dibumbui oleh banyak kepentingan di baliknya. Parahnya, kepentingan tersebut cenderung memihak kepada kaum pemodal.

Masyarakat pedesaan harus dibangun sebagai basis sistem ekonomi kerakyatan yang tangguh, yaitu mampu bertahan terhadap goncangan melalui upaya pemberdayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh penjelasan Pasal 33 UUD 1945 (sebelum diamandemen), nilai dasar yang menjiwai ekonomi kerakyatan adalah tegaknya kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi.

Sementara itu, prinsip ekonomi kerakyatan, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945, meliputi 3 hal sebagai berikut. Pertama, perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Ketiga, bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Quo Vadis Petani?

Rendahnya tingkat kesejahteraan petani dilatarbelakangi oleh kegagalan pembangunan membentuk sebuah sistem yang mendukung penguatan basis ekonomi petani. Seperti yang sudah diulas oleh banyak pakar ekonom, hal yang paling fundamental mendasari kegagalan pemerintah adalah kekeliruan paradigma yang membingkai seluruh kebijakan dan strategi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.

Indonesia pun terjabak dalam kubangan modernisasi. Hal ini yang menjadi masalah karena untuk mencapai negara industri juga dinilai tidak mudah dan murah sehingga muncul penanaman modal yang didominasi oleh perusahaan asing. Beginilah gambaran skema neoliberalisme di Indonesia. Kita sebagai rakyat Indonesia, termasuk petani, lambat tapi pasti akan terkena dampaknya. Lalu bagaimana gambaran petani saat ini?

Karena nihilnya asas partisipatif, yang menjadi permasalahan pula adalah peran negara terlalu dominan. Negara melakukan intervensi secara struktur kelembagaan untuk menyukseskan program pembangunan yang dicanangkan. Selain itu, terjadi pula intimidasi berujung represifitas yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya. Hal ini sering terjadi hingga saat ini.

Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), organisasi payung nonpemerintah tingkat nasional yang berdiri sejak 1994 mencatat adanya kenaikan jumlah konflik agraria sepanjang tahun 2016. Bahkan, kenaikan tersebut mencapai hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2015. Sengketa agraria di tahun 2016 mencapai angka 450. Mayoritas konflik muncul dari sektor perkebunan (163), properti (117), infrastruktur (100), kehutanan (25), tambang (21), migas (7), pesisir-kelautan (10), pertanian (7).

Di sektor perkebunan, selain terjadi di Tulangbawang, juga terjadi di Langkat dan beberapa daerah di Indonesia. Di sektor infrastruktur, proyek pemerintah kerap menjadi pemicu, seperti pada megaproyek pembangunan bandara di Sukamulya, Jawa Barat, dan Kulonprogo, DIY.

Berangkat dari penjelasan itu, usaha perbaikan tingkat kesejahteraan petani harus bermuara pada usaha-usaha merebut hak-hak petani, yaitu hak untuk bersikap dan bertindak bebas (dalam hal ini adalah hak mengelola tanah dan penguasaan tanah), mandiri, dan berpartisipatif dalam merumuskan arah kebijakan pemerintah.

Ihwal tersebut hanya dapat diraih jika petani memiliki daya tawar lebih pada setiap mekanisme pengambilan kebijakan. Tanpa usaha-usaha politik yang taktis, sejatinya perubahan kesejahteraan petani hanyalah ilusi karena kedaulatan petani tidak tercapai. Jika peran pemerintah berhasil diintroduksikan kepada petani, melalui pola partisipatif yang aktif dalam merumuskan kebijakan, Reforma Agraria akan menjadi sebuah keniscayaan.

Selengkapnya : https://www.selasar.com/jurnal/36651/Reformasi-Agraria-dan-Harapan-Petani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EVOLUSI PERTANIAN, REVOLUSI INDUSTRI DAN MASA DEPAN PETANI

Ilustrasi Hingga abad 18, semua petani di belahan bumi ini masih menggunakan pertanian alami. Revolusi industri yang terjadi di Eropa telah mengubah wajah dunia menjadi serba cepat, massal dan global. Merkantilisme yang bergerak diawal abad 16 yang ditandai dengan penjelajahan samudera dan benua baru oleh bangsa eropa semakin menemukan pasangannya setelah revolusi industri pecah di prancis dan inggris. Pelan-pelan merkantilisme berubah menjadi kolonialisme di bumi Asia, Afrika dan amerika latin. Pengenalan berbagai macam tanaman perkebunan untuk kepentingan eropa dikembangkan secara besar-besaran di negeri jajahan , termasuk Indonesia. Orientasi pertanian berubah dari upaya memenuhi kebutuhan pangan domestik menjadi kebutuhan ekspor. Perlahan tapi pasti, rakyat dipaksa untuk membuka hutan menjadi perkebunan teh, karet, kina, kopi, kakau dan lainnya. pemanfaatan lahan untuk perkebunan semakin menjauhkan petani terhadap jenis tanaman pangan untuk kebutuhan keluarga. Pada situasi ini

PENDIDIKAN TINGGI, MIMPI ANAK PETANI MELARAT

Anak Desa Oleh : Boyan Pendidikan yang membumi merupakan pendidikan yang dialogis. Pendidikan yang membumi ini melihat antara teks (teori) pendidikan dengan konteks (realitas social). Di desa kecil di sebuah kawasan Jawa Tengah ada sebuah tipe sekolah menarik, pendidikan untuk anak petani. Dengan cita-cita utama mewujudkan sebuah system pendidikan yang berguna bagi kehidupan. Pendidikan anak petani merupakan pendidikan pemberontakan. Sebuah bentuk pendidikan yang lain dari apa yang kita saksikan selama ini. Dimana pendidikan hanya mengajarkan bagaimana seseorang tergantung pada universitas (SMA) dan tekhnologi (SMK). Pendidikan alternative membetot segala silang sengkarut pendidikan yang selama ini hanya bagus di teks (KTSP) tanpa melihat situasi riil yang dihadapi masyarakat. Model pendidikan alternative hadir dari kebutuhan masyarakat yang butuh kelanjutan. Melanjutkan generasi tani yang hamper mati akibat hilangnya potensi desa karena ditinggal sebagian terbesar tenaga ke

KONSEP REFORMA AGRARIA DIPERTANYAKAN

Tanah Untuk Rakyat Konsep reforma agraria yang kini diusung pemerintah untuk menjalankan kebijakan pemerataan, dipertanyakan. Sebab tidak mencakup syarat baku reforma agraria sebagaimana dilakukan di sejumlah negara. Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Eko Cahyono di Bogor, Rabu (15/2), menyatakan, reforma agraria merupakan konsep yang sudah baku. Reforma agraria mensyaratkan minimal empat faktor, yakni restrukturisasi dari ketimpangan struktur agraria, penyelesaian konflik-konflik agraria, cakupan lintas sektoral, dan ditujukan untuk petani miskin dan kelompok masyarakat tak bertanah. Sehingga dari penjelasan pemerintah, konsep reforma agraria yang dianut, hanyalah kebijakan agraria dan bukan reforma agraria yang sesungguhnya. Alasannya, kebijakan yang digagas pemerintah tidak benar-benar merombak struktur agraria, tetapi lebih banyak soal sertifikasi lahan. ”Kebijakan agraria yang direncanakan pemerintah memang positif. Tapi tolong jangan menggunakan istilah kebijakan reforma ag