Langsung ke konten utama

SAATNYA PETANI BERDAULAT

Petani Panen Padi


“Sebagai manusia, petani juga mempunyai harapan dan mempunyai pula rasa gembira dan rasa kecewa. Kaum tani harus yakin bahwa dia bekerja untuk masa depannya.”
[Soekarno, Tahun Vivere Pericoloso, 1964].

Oleh: Aria Bima

Menjadi petani, terutama petani padi, rasanya makin sulit. Ketika harga padi atau beras naik sedikit saja, pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Bulog buru-buru membanjiri pasar dengan beras murah, yang sebagian besar berasal dari beras impor. Tapi, saat panen raya tiba dan harga anjlok, pemerintah dan Bulog tak sigap menyerap produksi petani. Petani yang posisi tawarnya lemah harus menghadapi sendiri para tengkulak bermodal kuat.

Niat pemerintah membantu petani dengan menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) pada masa panen raya pun tak banyak membantu. Pasalnya, seperti kita lihat tahun ini, HPP justru di bawah harga pasar.

Dengan HPP seperti itu, tentu saja Bulog ogah membeli produksi petani. Sebab, sebagai perum yang misinya juga mengais laba, Bulog tak boleh membeli beras atau padi di atas HPP. Apalagi harga beras di pasar dunia juga cenderung lebih rendah dari dalam negeri. Logika dagang Bulog tentu memilih mengimpor beras ketimbang bersusah payah menyerap produksi petani.

Perubahan Paradigma
Makanya, jangan harap Bulog mau membeli secara langsung padi petani. Apalagi membeli gabah basah yang harus mereka olah sendiri menjadi gabah kering atau beras. Ini mustahil dilakukan, kecuali ada perubahan paradigmatis di kalangan Bulog dan pembuat kebijakan pemerintah umumnya.

Kenapa? Sebab, diakui atau tidak, paradigma yang mewarnai cara berpikir Bulog dan para pembuat kebijakan, khususnya tim ekonomi Kabinet SBY-JK, saat ini ialah paradigma ketahanan pangan (food security). Menurut paradigma dari FAO yang amat pro-perdagangan bebas WTO ini, tak soal bagaimana pangan diproduksi dan darimana berasal. Yang penting ketersediaan pangan alias stok beras nasional mencukupi. “Mereka bukan memikirkan bagaimana meningkatkan produksi beras dan diversifikasi pangan, tapi justru memanjakan kita dengan produk-produk pangan impor yang lebih murah, karena memang di negara-negara asal komoditas pangan ini memperoleh subsidi besar,” ucap pengamat ekonomi pertanian Indef, Iman Sugema, (Suara Karya, 29/3).

Dalam konteks ketahanan pangan inilah budidaya pertanian ala revolusi hijau dan impor pangan murah menjadi relevan. Revolusi hijau bertujuan mendongkrak produksi pangan dengan program intensifikasi pertanian, yang dulu dikenal sebagai Bimas atau Panca Usaha Tani. Program ini awalnya memang mampu mengatrol produksi pangan, seperti dirasakan Indonesia dengan swasembada beras pada 1994.

Namun, revolusi hijau lambat laun menjadi malapetaka, karena membuat petani makin tidak berdaulat dalam lapangan pertanian. Revolusi hijau menjadikan kaum tani kian tergantung input pupuk dan obat kimia serta bibit unggul produksi perusahaan besar (MNC). Sementara kesuburan tanah juga kian buruk dan menurun produktivitasnya akibat asupan bahan kimiawi tanpa henti. (Jadi, swasembada beras pada 1994 bukan berarti kita berdaulat dalam hal pangan).

Sebaliknya, kedaulatan pangan (food sovereighnty) mengacu hak suatu negara dan petani menentukan kebijakan pangannya sendiri dengan memprioritaskan produksi lokal guna memenuhi kebutuhan sendiri. Selain itu, juga menjamin tersedianya tanah subur, air, benih, termasuk kredit bagi buruh tani dan petani kecil serta melarang praktek perdagangan dengan cara dumping (Tejo Pramono, 2005).

Yang dimaksud hak menentukan kebijakan pangan ialah para petani sendiri yang memilih cara produksi, jenis teknologi, hubungan produksi, sistem distribusi, hingga masalah keamanan pangan. Jadi, dengan kedaulatan pangan diharapkan petani punya kemandirian dalam proses produksi pangan, tak lagi tergantung kepada pengusaha. Bahkan juga tidak lagi tergantung pada pemerintah dan Bulog. Sebab, dengan kedaulatan pangan, petani bisa menjadi wirausahawan kecil yang mandiri.

Karena itu, tatkala komitmen Bulog dan pemerintah kepada perlindungan petani tak juga ada, dan sebaliknya mereka lebih mementingkan komitmen terhadap rezim perdagangan bebas yang amat merugikan petani, saatnya kaum tani membela dirinya sendiri dengan menggalakkan program kedaulatan pangan.

Ramah Lingkungan & Berkelanjutan
Kedaulatan pangan juga merupakan program pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan (ecological and sustainable agriculture). Maka tak mengherankan jika banyak LSM mendukung ide kedaulatan pangan sebagai pengganti model ketahanan pangan yang dinilai merugikan petani.

Pengalaman Kuba membuktikan, program kedaulatan pangan mampu menyelamatkan negeri itu dari kesulitan. Akibat krisis yang dihadapinya pasca Uni Soviet ambruk, Kuba memutar kiblat kebijakan ekonomi dari berorientasi ekspor (outward looking) menjadi mementingkan kebutuhan dalam negeri (inward looking), terutama pangan.

Dari pengalaman Kuba bisa disarikan bahwa untuk menyelenggarakan program kedaulatan pangan dibutuhkan perubahan kebijakan sektor pertanian, khususnya pangan, yang meliputi tiga hal (Any Sulistyowati, 2003).

Pertama, perubahan teknologi. Model kedaulatan pangan mengadopsi pola alternatif, yakni pertanian organik, yang memaksimalkan pemakaian sumber daya lokal. Termasuk dengan gerakan menanam kembali spesies padi lokal, penerapan sistem multikultur atau diversifikasi pangan, minimalisasi asupan luar seperti pestisida dan pupuk kimia, dan penyediaan sarana pendukung seperti bioteknologi yang berbasis masyarakat.

Kedua, perubahan produksi. Ini dilakukan dengan pembagian lahan pertanian dan pemanfaatan lahan tidur untuk usaha tani. Ditambah dengan mengintroduksi pertanian perkotaan yang memanfaatkan pekarangan penduduk.

Ketiga, perubahan distribusi, yang antara lain dengan membuka pasar khusus produk pertanian dan penjualan langsung dari petani kepada konsumen guna memotong jalur distribusi yang panjang.

Pengalaman Indonesia
Di negeri kita, upaya ke arah model kedaulatan pangan ini relatif berhasil dicoba oleh Pemkab Bantul DIY dan Sragen, Jawa Tengah. Di Sragen, misalnya, pertanian organik menjadi program unggulan 5 tahun terakhir. Jumlah kelompok tani organik pun bertambah signifikan. Semula 29 kelompok (639 petani) saat program dimulai (2001), menjadi 247 kelompok (1.721 petani) pada 2004. Total lahan padi organik terus bertambah, dari 232 hektar (2001) menjadi 1.973 hektar (2004). Hasilnya, jumlah produksi padi organik melonjak tajam. Jika pada 2001 dihasilkan 1.187 ton gabah kering giling (GKG), tiga tahun berselang nyaris 11 ribu ton GKG.

Maka, Pemkab Sragen pun berani mencanangkan visi Sragen menjadi sentra beras organik terbesar di Tanah Air pada 2010. Mereka mengerahkan penyuluh lapangan dan membentuk perusahaan pengolahan dan pemasaran pasca panen untuk menampung produksi petani.

Walhasil, kendati tanpa Bulog atau HPP sekalipun, petani organik Sragen bisa meningkatkan kesejahteraannya. Soalnya, harga jual padi organik selalu di atas padi nonorganik. Sementara biaya produksinya justru lebih rendah, lantaran petani cukup memakai kotoran hewan sebagai pupuk dan ekstrak dedaunan setempat sebagai obat hama. Padi organik juga lebih aman dikonsumsi lantaran bebas dari residu pupuk maupun pestisida kimia.

Bagaimana dengan petani di daerah lain, di mana pemerintah lokal belum berminat memberdayakan petani melalui program kedaulatan pangan?

Jika demikian, saatnya petani tak lagi berharap banyak kepada pemerintah, apalagi pemerintah pusat. Pemerintah pusat saat ini jelas hanya peduli untuk menjadikan beras sebagai komoditas politik yang harus dijaga ketat fluktuasi harganya, demi menjaga angka inflasi. Nasib petani sendiri yang terpuruk dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi, tak pernah dijadikan tolok ukur pembuatan kebijakan.

Karena itu, petani harus mampu mengorganisir diri sendiri dan menegakkan kedaulatan pangan dalam kelompoknya sendiri. Dalam hal ini termasuk menyisihkan sebagian hasil panennya untuk konsumsi sendiri, sehingga jika harga beras melambung pada masa paceklik, mereka tak perlu kelabakan atau malah kelaparan.

Setelah itu, perlu disusul kerja sama lintas kelompok tani dan secara bersama mengimplementasikan ide kedaulatan pangan dalam kenyataan. Para petani dapat belajar ke kelompok-kelompok tani di Sragen, misalnya, yang menyelenggarakan kursus singkat pola pertanian organik.

Dengan berdaulat, pilihan kaum tani bukan lagi menanam padi sebanyak mungkin seperti imbauan penguasa, tapi hanya menanam padi sejauh menguntungkan. Jika bertani padi tak lagi menguntungkan, bahkan cenderung merugi jika semua komponen produksi dihitung rinci, saatnya para petani berani memilih: menanam padi secara organik atau bertani jenis tanaman lain yang lebih menjanjikan masa depan.

Sudah saatnya petani memperjuangkan nasibnya sendiri jika penguasa dan kaum elite negeri ini tak juga berhenti menjadikan mereka sapi perah hanya demi menjamin stok pangan berharga murah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EVOLUSI PERTANIAN, REVOLUSI INDUSTRI DAN MASA DEPAN PETANI

Ilustrasi Hingga abad 18, semua petani di belahan bumi ini masih menggunakan pertanian alami. Revolusi industri yang terjadi di Eropa telah mengubah wajah dunia menjadi serba cepat, massal dan global. Merkantilisme yang bergerak diawal abad 16 yang ditandai dengan penjelajahan samudera dan benua baru oleh bangsa eropa semakin menemukan pasangannya setelah revolusi industri pecah di prancis dan inggris. Pelan-pelan merkantilisme berubah menjadi kolonialisme di bumi Asia, Afrika dan amerika latin. Pengenalan berbagai macam tanaman perkebunan untuk kepentingan eropa dikembangkan secara besar-besaran di negeri jajahan , termasuk Indonesia. Orientasi pertanian berubah dari upaya memenuhi kebutuhan pangan domestik menjadi kebutuhan ekspor. Perlahan tapi pasti, rakyat dipaksa untuk membuka hutan menjadi perkebunan teh, karet, kina, kopi, kakau dan lainnya. pemanfaatan lahan untuk perkebunan semakin menjauhkan petani terhadap jenis tanaman pangan untuk kebutuhan keluarga. Pada situasi ini

PENDIDIKAN TINGGI, MIMPI ANAK PETANI MELARAT

Anak Desa Oleh : Boyan Pendidikan yang membumi merupakan pendidikan yang dialogis. Pendidikan yang membumi ini melihat antara teks (teori) pendidikan dengan konteks (realitas social). Di desa kecil di sebuah kawasan Jawa Tengah ada sebuah tipe sekolah menarik, pendidikan untuk anak petani. Dengan cita-cita utama mewujudkan sebuah system pendidikan yang berguna bagi kehidupan. Pendidikan anak petani merupakan pendidikan pemberontakan. Sebuah bentuk pendidikan yang lain dari apa yang kita saksikan selama ini. Dimana pendidikan hanya mengajarkan bagaimana seseorang tergantung pada universitas (SMA) dan tekhnologi (SMK). Pendidikan alternative membetot segala silang sengkarut pendidikan yang selama ini hanya bagus di teks (KTSP) tanpa melihat situasi riil yang dihadapi masyarakat. Model pendidikan alternative hadir dari kebutuhan masyarakat yang butuh kelanjutan. Melanjutkan generasi tani yang hamper mati akibat hilangnya potensi desa karena ditinggal sebagian terbesar tenaga ke

KONSEP REFORMA AGRARIA DIPERTANYAKAN

Tanah Untuk Rakyat Konsep reforma agraria yang kini diusung pemerintah untuk menjalankan kebijakan pemerataan, dipertanyakan. Sebab tidak mencakup syarat baku reforma agraria sebagaimana dilakukan di sejumlah negara. Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Eko Cahyono di Bogor, Rabu (15/2), menyatakan, reforma agraria merupakan konsep yang sudah baku. Reforma agraria mensyaratkan minimal empat faktor, yakni restrukturisasi dari ketimpangan struktur agraria, penyelesaian konflik-konflik agraria, cakupan lintas sektoral, dan ditujukan untuk petani miskin dan kelompok masyarakat tak bertanah. Sehingga dari penjelasan pemerintah, konsep reforma agraria yang dianut, hanyalah kebijakan agraria dan bukan reforma agraria yang sesungguhnya. Alasannya, kebijakan yang digagas pemerintah tidak benar-benar merombak struktur agraria, tetapi lebih banyak soal sertifikasi lahan. ”Kebijakan agraria yang direncanakan pemerintah memang positif. Tapi tolong jangan menggunakan istilah kebijakan reforma ag