Merdeka? |
Jika diukur dari umur, usia negeri ini tidak ada apa-apanya dari usia petani.
Sebelum negeri bernama Indonesia berdiri, eksistensi petani sudah jauh diakui.
Dalam naskah-naskah sejarah diuraikan, petani dan warga perdesaan merupakan penopang utama keberhasilan merebut kemerdekaan.
Tidak hanya menyediakan tempat persembunyian, peran petani dan warga perdesaan paling penting ialah menjamin logistik para pejuang.
Mustahil pejuang menang berjuang dengan perut kosong. Pertanyaannya, sudahkah petani kita merdeka?
Jumlah petani saat ini mencapai 54% dari jumlah rakyat Indonesia. Logikanya, jika rakyat merasakan kemerdekaan, otomatis kemerdekaan juga dirasakan petani.
Jika tidak, siapa sebenarnya yang memetik kemerdekaan selama 72 tahun ini?
Bagaimanakah kehidupan petani setelah 72 tahun merdeka: apakah semakin sejahtera, tetap, atau bahkan kian menderita?
Benarkah petani semakin tidak berdaya? Apakah indikasinya?
Bagaimana membuat mereka merdeka dalam arti sesungguhnya? Lalu, apakah yang harus dilakukan?
Kemerdekaan petani yang tecermin pada kehidupan yang kian sejahtera atau justru sengsara setidaknya bisa diukur dari tiga hal: tingkat pendidikan, aset ekonomi, dan tingkat kemandirian.
Menurut Sensus Pertanian (SP) 2013, kapasitas SDM pertanian amat rendah.
Jumlah rumah tangga petani mencapai 26,14 juta rumah tangga, menurun 5,04 juta rumah tangga dari 2003.
Sekitar 72% dari mereka yang bekerja di sektor pertanian hanya berpendidikan atau tidak tamat SD, 26% lulus SMP dan SMA, dan hanya 1% lulus perguruan tinggi.
Kapasitas pendidikan yang rendah membuat adopsi inovasi-teknologi jadi lambat.
Di berbagai daerah biaya pendidikan SMP, bahkan hingga SMA, dibebaskan dan 20% APBN dialokasikan khusus untuk sektor pendidikan.
Namun, ternyata itu belum mampu memerdekakan petani dari kebodohan.
Amanat konstitusi seperti tertuang dalam roh pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan RI ikut mencerdaskan bangsa dan Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran ternyata hanya indah di teks.
Nyatanya pendidikan petani tidak tersentuh. Lalu apa makna dan manfaat kemerdekaan bagi petani?
Penguasaan modal (lahan dan pendanaan) petani amat terbatas.
Sebanyak 14,25 juta rumah tangga petani (55,33%) guram dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 ha.
Keterbatasan modal membuat pertanian tidak lagi jadi gantungan hidup dan keluar dari jerat kemiskinan.
Menurut Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) BPS, rata-rata pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian hanya Rp12,4 juta per tahun atau Rp1 juta per bulan, amat jauh dari upah layak buruh pabrik.
Pendapatan itu hanya mampu menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti mengojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar.
Fakta ini menunjukkan tak ada lagi 'masyarakat petani', yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.
Karena tak menjanjikan kesejahteraan, logis kiranya pertanian dijauhi tenaga kerja muda terdidik.
Menurut SPP 2013, sepertiga pekerja sektor pertanian berusia lebih 54 tahun.
Pertanian terancam oleh gerontrokrasi.
Kebijakan negara yang menyerahkan harga semua komoditas pangan, kecuali beras, kepada mekanisme pasar membuat petani kian sulit dan bahkan terjepit.
Petani tidak hanya terjerat oleh rentenir dan terperangkap pengijon, tetapi juga tidak berdaya menghadapi tengkulak saat panen raya.
Ketika harga pangan naik, semua pihak, termasuk petinggi negara, teriak-teriak.
Sebaliknya, ketika harga pangan jatuh tak ada satu pun yang membela petani. Tak bisa disangkal, petani negeri ini masih menyubsidi orang kaya lewat penyediaan pangan murah.
Soal kemandirian, petani masih bergantung pada penyediaan pupuk fosfor, kalium, dan bibit ayam ras (DOC).
Ketergantungan petani terhadap pestisida dan aneka bibit unggul yang dikuasai (hampir monopolistik) oleh perusahaan multinasional juga masih tinggi.
Bantuan pupuk dan bibit belum mampu memerdekaan petani dari ketergantungan input dari luar.
Apa arti kemerdekaan apabila dalam berproduksi semua input petani bergantung pada pihak lain?
Apa yang harus dilakukan agar petani merdeka dan menikmati hasil kemerdekaan yang diperjuangkannya dulu?
Setidaknya perlu redistribusi aset, reformasi politik anggaran, perbankan, perindustrian, dan perdagangan.
Diperlukan perubahan politik anggaran, perbankan, perindustrian, dan perdagangan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota untuk memerdekakan petani.
Konkretnya, perlu alokasi 10% anggaran APBN serta APBD I dan II untuk perluasan areal tanam baru, infrastruktur pertanian, pascapanen, pengolahan hasil, dan mekanisasi.
UU Perbankan harus diubah agar dana yang dihimpun dari masyarakat tidak lari keluar dari desa.
Sebaliknya, dana itu digunakan di perdesaan agar sektor pertanian dan UMKM berputar lebih kencang.
Pertanian dan perdesaan harus didesain terintegrasi dengan industri pengolahan.
Sumber daya ekonomi sebisa mungkin ditahan desa dan hanya keluar setelah melalui proses penciptaan nilai tambah.
Suntikan inovasi dan adopsi teknologi menjadi keniscayaan agar nilai tambah dan dampak berganda sebesar-besarnya dinikmati masyarakat perdesaan.
Jika desain itu bisa dilakukan dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi pertanian dan perdesaan tidak lagi inferior.
Pertanian dan perdesaan menjanjikan nilai tambah dan kehidupan lebih baik.
Ini akan jadi daya tarik lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke desa.
Liberalisasi perdagangan sektor pertanian harus ditimbang ulang, bahkan dikontrol ketat, agar petani tidak menjadi korban karena tertekan harga jual produknya.
Sektor pertanian tidak mungkin diliberalisasi karena tiga argumen (Wanki Moon, 2011): (a) produksi pertanian secara kolektif terkait dengan barang dan jasa non-market (lahan, air, bidoversitas, hutan), (b) pertanian secara intimatif terasosiasi dengan isu-isu kemanusiaan seperti perubahan iklim, kesinambungan, dan ketahanan pangan (kemiskinan/kelaparan), khususnya di negara berkembang; dan (c) sektor pertanian memiliki peran dan kemampuan yang berbeda-beda antarnegara.
Kekalahan dalam liberalisasi bisa menjadi petaka kemanusiaan.
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia,anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
Komentar
Posting Komentar