Petani mengayuh Sepeda |
Oleh: Muhammad Rizvied
BERBEKAL sepeda tuanya yang bontot, berusia kira-kira separuh umurnya yang telah memasuki kepala tujuh, Kakek tua rentah ini mengayuh sepedanya menuju sebuah lahan pertanian tebu yang letaknya ratusan meter dari tempat tinggalnya di kabupaten Takalar. Takalar adalah sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan yang jaraknya 75 kilometer dari Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Kakek ini adalah seorang buruh harian (Petani tebu) yang bekerja disebuah lahan milik pemerintah di wilayah Polongbangkeng, kabupaten Takalar Sulsel. Walaupun telah puluhan tahun menjadi petani tebu. Pria tua ini tetap saja berkutak dengan kemiskinan. Polobangkeng adalah sebuah wilayah yang terbagi dalam dua kecamatan. Yakni Polobangkeng utara dan selatan. Di daerah ini sedikitnya terdapat 12 desa, yang 85 persen penduduknya adalah petani miskin. Sepertinya petani disana tak akan pernah sejehtera. Mengingat upah dan terus merosotnya harga gula. Kebijakan pemerintah yang tak pernah berpihak terhadap petani tebu ini menjadi pokok permasalahannya. Mungkin Kakek tersebut juga adalah korbannya. Sampai kapan pun petani tebu ini tak akan pernah bisa menikmati manisnya harga gula, seperti harapan mereka sebelum-sebelumnya. Membanjirnya gula rafinasi di pasaran membuat anjlok harga gula, yang tentunya berpengaruh pada petani miskin seperti kakek tadi. Akibat dari membanjirnya gula jenis rafinasi dipasaran, mengakibatkan puluhan ton gula tebu tak terjual, yang memaksa petani gula didaerah ini harus gigit jari, melihat terus merosotnya harga gula. Padahal, petani dan produsen gencar melakukan operasi. Walaupun pabrik gula Takalar di bawah kendalai PT Rajawali Nusantara Indonesia akan kembali dihidupkan, belum tentu menjadi jaminan bahwa petani seperti kakek dari 12 orang cucu tersebut dapat merasakan manisnya harga gula. "Saya tak pernah berharap menjadi kaya nak. Saya hanya berharap kami bisa menikmati manisnya harga gula seperti manisnya tebu. Cukuplah hidup kami seperti ini. Entah sampai kapan kami semua dapat sejahtera," kata kakek tersebut, sembari mengusap keringat di wajahnya yang keriput. Pabrik gula ini merupakan pabrik gula kebanggaan Sulsel. Rencananya dalam waktu dekat ini, pabrik gula tersebut akan beroperasi kembali, dan diharapkan dengan beroperasinya kembali pabrik gula ini, kebutuhan stok gula nasional bisa ditutupi. Namun ini bukan lagi sebuah jaminan, pemerintah tidak mendatangkan gula dari luar. Mengingat otak dari pemimpin bangsa ini adalah otak-otak ""ular". Mereka lebih mencari keuntungan pribadi dari pada memperhatikan kesehjatraan petani gula yang mungkin telah bertahun-tahun bekerja namun tak pernah sedikit pun mencicipi manisnya gula tersebut. Ini adalah bentuk dan gambaran refleksi dari sebuah petani tebu, seperti kakek tadi yang telah bekerja puluhan tahun namun tak pernah merasakan manisnya harga gula, seperti manisnya tebu yang dihasilkan.
Ini bukan terjadi di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan saja. Namun hampir disemua daerah di Indonesia. Manisnya Tebu Tak Semanis Nasib Petaninya. Sebuah catatan kecil tentang nasib petani tebuh.
Makassar, 19 Juni 2010
Komentar
Posting Komentar