Langsung ke konten utama

Postingan

20 Tahun Reformasi : Reformasi Hanya Setengah Hati!

Mahasiswa 1998 menduduki gedung parlemen Bulan Mei adalah bulan perjuangan. Di awali dengan hari buruh yang ramai disebut dengan May Day, kemudian Hari Pendidikan dan tidak bisa lupa dengan gerakan reformasi pada Mei 1998  yang berhasil melengserkan rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun sejak dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tanggal 11 Maret 1966 hingga tahun 1998. Masih terngiang-ngiang di alam pikiran tentang gerakan mahasiswa kala itu yang merupakan puncak gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat pro-demokrasi pada akhir dasawarsa 1990-an.             Gerakan ini mendapatkan momentumnya saat terjadinya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997. Namun para analis asing kerap menyoroti percepatan gerakan pro-demokrasi pasca Peristiwa 27 Juli 1996 yang terjadi 27 Juli 1996. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gera
Postingan terbaru

MayDay: Aksi Buruh Malang Pecah?

  Foto Mahasiswa yang Sok-sokan orasi.. hehehe May Day! Seperti yang biasa didengungkan disetiap peringatan 1 Mei yaitu Hari Buruh Internasional. Kali ini bercerita terkait pengalaman saya mengenai May Day di Kota Malang. Pagi hari dengan semangat bangun siang, saya berangkat dari markas (kos-kosan) menuju Balaikota Malang. Di luar ekspektasi, ada 2 massa aksi yang berada di sekitaran alun-alun tugu malang. Yang pertama ada dari kawan-kawan buruh dari FPBI dan kawan-kawan dari FORMA-PK FH UB dan BEM FH UB yang menduduki di depan DPRD dan menargetkan aksinya ke DPRD. Massa Aksi Pertama  Yang kedua ada dari kawan-kawan buruh SGBI dan Ojek Online yang menduduki depan balai kota dengan Aliansi Mahasiswa dari berbagai bendera dan perkumpulan antara lain HMI, SGMI, BEM FISIP UB, BEM FEB UB, Ikatan mahasiwa dari salah satu daerah di sulewesi (maaf lupa) dan masih banyak lagi (sorry yang gak kesebut). Target massa aksi ini adalah ke balaikota dengan berbagai tuntutannya ter

MayDay : Haruskah Turun ke Jalan?

Aksi Hari Buruh "MayDay" 2017 di Alun-alun kota Malang. Kali ini saya akan menulis tentang buruh. Perlu diketahui bahwa tulisan ini bukan untuk eskalasi menuju perayaan Mayday atau sering disebut Hari Buruh Sedunia. Tapi lebih dari aksi, kita perlu merefleksikan kata “buruh” itu sendiri dan urgensi aksi demontrasi buruh saat ini.   Menurut KBBI   buruh merupakan orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Saya tidak akan menyinggung teori marx atau buku berat-berat lainnya. Pada dasarnya, buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan adalah sama. Namun dalam kultur Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, Tenaga kerja dan Karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam melakukan kerja. akan tetapi pada intinya sebenarnya keempat kata ini sama mempunyai arti satu yaitu Pekerja. Hal ini terutama meruj

MOHON DOA KAWAN

Ketika ada sekelompok mahasiswa yang berkumpul menyuarakan aksinya di jakarta kemarin, aku juga ada dan bersuara dengan lantang. Ketika ada mereka yang berpanas-panas ditengah panas matahari jakarta, aku juga ada disana dengan semangat juang yang lebih membara. Ketika mengetahui rombongan kami dihadang oleh polisi dengan kawat-kawat berduri mereka, aku ada disana ikut menyingkirkan kawat berduri itu, menginjak injak dan menaruh banner-banner berisi gugatan dari sekelompok mahasiswa. Ketika matahari mulai turun dan hari mulai gelap, aku juga ada disana menunggu dari pihak yang kami tuntut untuk muncul dan menyapa kami. Ketika malam sudah larut, polisi-polisi mulai berlari menangkap sebagian dari kami dan membawa mereka berpisah dengan kami. Entah mengapa kok hanya sebagian, apakah dianggap provokasi? Atau sekedar main cyduk? Aku tak tau cara berpikir mereka. Aku hanyalah mahasiswa biasa yang mempelajari keadaan demi keadaan negeri yang sering kali mengundang pilu dan prihatin. Aku maha

HARI TANI 2017: REFLEKSI PEMBARUAN AGRARIA INDONESIA

Oleh : Muhammad Riant Daffa “Indonesia di masa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyat dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah faktor produksi yang utama, maka hendaknya peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya.” (Mohammad Hatta,1943) Agenda pembaruan agraria secara nyata memiliki relevansi sosial dengan kehidupan petani. Petani dalam pandangan orang awam adalah orang dan/atau keluarga yang memiliki dan/atau menggarap tanah, mengusahakan produksi barang pertanian dari tanahnya dan memperoleh hasil dari usahanya. Dalam cara produksi tertentu, petani selalu berhubungan dengan golongan lain. Posisi petani selalu menggantungkan nasibnya tergadap golongan lain dalam masyarakat.   Sulit sekali untuk m

SUDAHKAH PETANI KITA MERDEKA?

Merdeka? Jika diukur dari umur, usia negeri ini tidak ada apa-apanya dari usia petani. Sebelum negeri bernama Indonesia berdiri, eksistensi petani sudah jauh diakui. Dalam naskah-naskah sejarah diuraikan, petani dan warga perdesaan merupakan penopang utama keberhasilan merebut kemerdekaan. Tidak hanya menyediakan tempat persembunyian, peran petani dan warga perdesaan paling penting ialah menjamin logistik para pejuang. Mustahil pejuang menang berjuang dengan perut kosong. Pertanyaannya, sudahkah petani kita merdeka? Jumlah petani saat ini mencapai 54% dari jumlah rakyat Indonesia. Logikanya, jika rakyat merasakan kemerdekaan, otomatis kemerdekaan juga dirasakan petani. Jika tidak, siapa sebenarnya yang memetik kemerdekaan selama 72 tahun ini? Bagaimanakah kehidupan petani setelah 72 tahun merdeka: apakah semakin sejahtera, tetap, atau bahkan kian menderita? Benarkah petani semakin tidak berdaya? Apakah indikasinya? Bagaimana membuat mereka merdeka dalam arti ses

MENGHIDUPKAN KEMBALI KEBHINEKAAN DI LAHAN PERTANIAN

Petani Berbhineka Penulis:Dedek Hendry, Sumberdaya hayati di Indonesia sangatlah kaya. Kendati wilayah darat Indonesia hanya 1,3 persen dari seluruh wilayah darat dunia, di dalamnya terkandung 10 persen dari spesies tanaman dunia, 12 persen dari spesies mamalia, 16 persen dari spesies reptil dan amfibi dan 17 persen dari spesies burung (Bappenas dalam Barber dkk, 1997). Bukan hanya sekadar kaya, bahkan sebagian darinya merupakan spesies endemik. Misalnya untuk jenis mamalia, dari 515 jenis yang ada, 39 persennya merupakan endemik. Demikian pula untuk spesies burung, dari 1,531 jenis, 397 jenis adalah endemik. Dan dari 477 jenis palem, 225 di antaranya terkategori endemik (Sunarto, 2003). Kekayaan sumberdaya hayati itu telah menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Indonesia. Diperkirakan sekitar 40 juta penduduk Indonesia tergantung pada keragaman hayati secara langsung untuk menyambung kehidupannya (Bapennas dalam Jahmtami, 1994). Mereka yang tinggal secara turun temurun d