Langsung ke konten utama

Mencermati Alih Status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi

Ilustrasi Pertambangan


Oleh : Rosdi Bahtiar Martadi

Banyuwangi, Harian Pemalang – Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melarang kegiatan open pit mining (penambangan terbuka) di hutan lindung. Larangan ini rupanya disiasati oleh penguasa dan korporasi dengan melakukan sejumlah langkah untuk menurunkan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP). Mengapa status HLGTP perlu diturunkan? Sebab jika Tumpang Pitu statusnya masih hutan lindung, maka rencana penambangan emas di dalamnya akan terganjal dengan larangan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Karena itu, dengan tujuan memuluskan rencana penambangan emas, maka status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu harus diturunkan. Diturunkan dari hutan lindung menjadi hutan produksi.

Secara administratif Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) masuk dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Sukamade, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.
Untuk memuluskan rencana eksploitasi emas di HLGTP, Menteri Kehutanan RI (yang pada saat itu dijabat oleh Zulkifli Hasan) lewat surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 menurunkan status Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi. Luas hutan lindung yang diturunkan statusnya itu sebesar 1.942 hektar. Jika diperhatikan dengan mengaitkan legalisasi penurunan status HLGTP oleh Menteri Kehutanan RI tersebut dengan keinginan korporasi tambang untuk mengeksploitasi emas Tumpang Pitu, maka tentulah mudah ditebak bahwa fungsi HLGTP akan diubah ke sebuah fungsi yang akan mendukung rencana penambangan emas. HLGTP yang awalnya berfungsi sebagai kawasan lindung, kawasan resapan air, dan kawasan penyangga kehidupan akan diubah fungsinya menjadi kawasan tambang yang justru mengancam air, mengancam pertanian, mengancam pariwisata, juga mengancam sumber-sumber kekayaan alam hayati lainnya yang dibutuhkan warga sekitarnya untuk melanjutkan hidup.

Turunnya status Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi ini tentu tak luput dari perhatian sekian jurnalis. Alihfungsi yang secara sah ditandatangani Zulkifli Hasan pada tanggal 19 November 2013 itu memancing pertanyaan sebagian wartawan : apakah Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas terlibat dalam alihfungsi ini? Itulah mengapa dalam kurun waktu November 2013 hingga awal tahun 2014 tidak sedikit awak media yang bertanya kepada Abdullah Azwar Anas : apakah Bupati Banyuwangi terlibat dalam alihfungsi Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi?

Dalam wawancara-wawancara yang berlangsung dengan jurnalis, Abdullah Azwar Anas kerap memberikan jawaban-jawaban yang kurang lebih intinya sama, yakni urusan alihfungsi bukan domain dirinya selaku Bupati Banyuwangi tetapi merupakan domain Zulkifli Hasan sebagai Menteri Kehutanan. Atau jawaban-jawaban lain yang mengesankan bahwa Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas tidak terlibat dalam upaya alihfungsi HLGTP.

Pertanyaannya : benarkah Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas tidak terlibat dalam alihfungsi HLGTP? Benarkah tidak ada peran Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di dalam lahirnya surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 yang menurunkan status Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi.

Jika kita membaca surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 yang ditandatangani Zulkifli Hasan tertanggal 19 November 2013, maka pertanyaan di atas akan terjawab : bahwa ada peran Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dalam upaya alihfungsi HLGTP. Dalam konsideran surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 pada bagian “menimbang huruf b” dengan terang-benderang berbunyi : bahwa berdasarkan surat Nomor 522/635/429/108/2012 tanggal 10 Oktober 2012 Bupati Banyuwangi mengusulkan perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung seluas + 9.743, 28 (sembilan ribu tujuh ribu tujuh ratus empat puluh tiga dan dua pulu delapan per seratus hektar) terletak di BKPH Sukamade, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap.
Jadi jelas bahwa surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 tidaklah terbit begitu saja, tetapi surat tersebut lahir karena didorong oleh usulan Bupati Banyuwangi untuk menurunkan fungsi kawasan hutan lindung Tumpang Pitu (yang terletak di BKPH Sukamade) dengan luasan 9.743,28 hektar.

Yang menarik dalam hal ini adalah soal luas kawasan yang dialihfungsi. Ada perbedaan antara luas kawasan alihfungsi yang diusulkan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dengan luas kawasan alihfungsi yang diijinkan oleh Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan.

Dalam surat Nomor 522/635/429/108/2012 tanggal 10 Oktober 2012 Bupati Banyuwangi mengusulkan perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung seluas + 9.743, 28 hektar. Usulan ini direspon oleh Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan lewat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 dengan mengijinkan alihfungsi seluas 1.942 hektar. Jika menilik relasi antara usulan Bupati Banyuwangi dengan “restu” Menteri Kehutanan RI ini, maka terungkap bahwa sesungguhnya Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas telah mengusulkan luasan alihfungsi tersebut 5 kali lebih besar.

Usulan penurunan status hutan lindung seluas 9.743,28 hektar yang digagas Bupati Banyuwangi dalam surat Bupati Banyuwangi Nomor 522/635/429/108/2012 tanggal 10 Oktober 2012 ternyata 5 kali lebih besar dari luasan yang ditetapkan Menhut dalam SK Menhut Nomor SK. 826/Menhut –II/2013.

Dengan mencermati surat Menteri Kehutanan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 yang ditandatangani Zulkifli Hasan pada tanggal 19 November 2013, kita tidak hanya akan mengetahui siapa pengusul alihfungsi Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu, tetapi kita akhirnya bisa mengetahui siapa saja yang berhasrat ingin menambang emas Tumpang Pitu.

Ternyata gelegak syahwat ingin menambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu tak hanya dimiliki oleh korporasi tambang, tetapi juga dipunyai oleh penguasa Banyuwangi. Sebuah syahwat yang kemudian “dilegalisasi” oleh Menteri Kehutanan yang justru tega menamatkan riwayat Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu.

Sumber: https://harianpemalang.com/2017/03/10/mencermati-alih-status-hutan-lindung-gunung-tumpang-pitu-hlgtp-banyuwangi/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EVOLUSI PERTANIAN, REVOLUSI INDUSTRI DAN MASA DEPAN PETANI

Ilustrasi Hingga abad 18, semua petani di belahan bumi ini masih menggunakan pertanian alami. Revolusi industri yang terjadi di Eropa telah mengubah wajah dunia menjadi serba cepat, massal dan global. Merkantilisme yang bergerak diawal abad 16 yang ditandai dengan penjelajahan samudera dan benua baru oleh bangsa eropa semakin menemukan pasangannya setelah revolusi industri pecah di prancis dan inggris. Pelan-pelan merkantilisme berubah menjadi kolonialisme di bumi Asia, Afrika dan amerika latin. Pengenalan berbagai macam tanaman perkebunan untuk kepentingan eropa dikembangkan secara besar-besaran di negeri jajahan , termasuk Indonesia. Orientasi pertanian berubah dari upaya memenuhi kebutuhan pangan domestik menjadi kebutuhan ekspor. Perlahan tapi pasti, rakyat dipaksa untuk membuka hutan menjadi perkebunan teh, karet, kina, kopi, kakau dan lainnya. pemanfaatan lahan untuk perkebunan semakin menjauhkan petani terhadap jenis tanaman pangan untuk kebutuhan keluarga. Pada situasi ini

PENDIDIKAN TINGGI, MIMPI ANAK PETANI MELARAT

Anak Desa Oleh : Boyan Pendidikan yang membumi merupakan pendidikan yang dialogis. Pendidikan yang membumi ini melihat antara teks (teori) pendidikan dengan konteks (realitas social). Di desa kecil di sebuah kawasan Jawa Tengah ada sebuah tipe sekolah menarik, pendidikan untuk anak petani. Dengan cita-cita utama mewujudkan sebuah system pendidikan yang berguna bagi kehidupan. Pendidikan anak petani merupakan pendidikan pemberontakan. Sebuah bentuk pendidikan yang lain dari apa yang kita saksikan selama ini. Dimana pendidikan hanya mengajarkan bagaimana seseorang tergantung pada universitas (SMA) dan tekhnologi (SMK). Pendidikan alternative membetot segala silang sengkarut pendidikan yang selama ini hanya bagus di teks (KTSP) tanpa melihat situasi riil yang dihadapi masyarakat. Model pendidikan alternative hadir dari kebutuhan masyarakat yang butuh kelanjutan. Melanjutkan generasi tani yang hamper mati akibat hilangnya potensi desa karena ditinggal sebagian terbesar tenaga ke

KONSEP REFORMA AGRARIA DIPERTANYAKAN

Tanah Untuk Rakyat Konsep reforma agraria yang kini diusung pemerintah untuk menjalankan kebijakan pemerataan, dipertanyakan. Sebab tidak mencakup syarat baku reforma agraria sebagaimana dilakukan di sejumlah negara. Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Eko Cahyono di Bogor, Rabu (15/2), menyatakan, reforma agraria merupakan konsep yang sudah baku. Reforma agraria mensyaratkan minimal empat faktor, yakni restrukturisasi dari ketimpangan struktur agraria, penyelesaian konflik-konflik agraria, cakupan lintas sektoral, dan ditujukan untuk petani miskin dan kelompok masyarakat tak bertanah. Sehingga dari penjelasan pemerintah, konsep reforma agraria yang dianut, hanyalah kebijakan agraria dan bukan reforma agraria yang sesungguhnya. Alasannya, kebijakan yang digagas pemerintah tidak benar-benar merombak struktur agraria, tetapi lebih banyak soal sertifikasi lahan. ”Kebijakan agraria yang direncanakan pemerintah memang positif. Tapi tolong jangan menggunakan istilah kebijakan reforma ag