Oleh : Muhammad Riant Daffa
“Indonesia di masa datang mau menjadi
negeri yang makmur, supaya rakyat dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut
serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang,
politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang,
yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah faktor produksi yang
utama, maka hendaknya peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai
sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya.” (Mohammad Hatta,1943)
Agenda pembaruan agraria secara nyata
memiliki relevansi sosial dengan kehidupan petani. Petani dalam pandangan orang
awam adalah orang dan/atau keluarga yang memiliki dan/atau menggarap tanah,
mengusahakan produksi barang pertanian dari tanahnya dan memperoleh hasil dari
usahanya.
Dalam cara produksi tertentu, petani
selalu berhubungan dengan golongan lain. Posisi petani selalu menggantungkan
nasibnya tergadap golongan lain dalam masyarakat. Sulit sekali untuk mentemukan petani yang
semata-mata bergantung pada kondisi internalnya saja,kecuali pada
kantung-kantung masyarakat adat. Dalam bangunan feodalisme, petani yang menjadi
penggarap tanah nasibnya selalu bergantung ppada mekanisme bagi hasil dan pajak
yang dibebankan oleh penguasa tanah (raja dan aparatnya). Dalam bangunan
kapitalisme, nasib petani ditentukan oleh program-program agraria penguasa
kolonial.
Dua bangunan ini saling berhubungan
satu dengan yang lain hingga bertahan hingga saat ini. Sisa-sisa feodalisme itu
bertahan karena hukum ekspansi kapitalisme, yakni pelestarian-penghancuran.
Kapitalisme akan melestarikan bangunan lama yang berguna untuk pemenuhan
akumulasi modal, dan akan menghancurkan bangunan lama yang menghambatnya.
Sepanjang sejarah kapitalisme di Indonesia,
selalu menghasilkan deferensiasi sosial. Diferensiasi sosial merupakan
konsekuensi perkembangan kapitalisme. Sisi lain dari hukum akumulasi modal dari
kapitalisme adalah berlangsungnya proletarisasi petani (proses pemisahan petani
dari alat produksinya, yakni tanah, menuju terbentuknya buruh)
Diferensiasi sosial selalu
menghasilkan korban pada golongan terbawah, yakni petani kecil, petani tak
bertanah atau buruh tani. Program – program kapitalisme dalam sektor agraria
yang menghancurkan kehidupan ekonomi petani, terutama golongan bawah,
senantiasa menimbulkan reaksi-reaksi petani. Reaksi petani beragam mulai dari yang
berwujud perlawanan sehari-hari (everyday resistance) hingga dalam bentuk
gerakan.
Untuk menjaga proses ekploitasi petani
berlangsung stabil dan amanaman dari gangguan yang berasal dari reaksi petani,
proses represi dilakukan. Represi petani telah terjadi dalam berbagai bangunan
politik. Baik oleh tuan-tuan feodal hingga aktor-aktor politik di jaman paska
kemerdekaan. Represi ini membutuhkan biaya yang besar. Karena itu, terhadap
petani dilakukan proses depolitisasi dan hegemoni. Depolitisasi adalah penghancuran
kekuasaan politik suatu golongan masyarakat untuk memperjuangkan hak dan
kepentingannya. Dalam konteks perjuangan kepentingan petani, umpamanya adalah
melarang petani melakukan kegiatan berorganisasi. Sedangkan hegemoni aalah
proses pengubahan kesadaran suatu kelompok/kelas tertundas oleh kaum penindas
sedemikian rupa sehingga kelas/kelompok tertindas menerima dengan senang hati
dan bangga apa yang diinginkan oleh kelompok/kelas penindasnya.
Dalam kasus peralihan akses dan
kontrol atas tanah dari penduduk ke pihak lain, dipenuhi oleh berbagai metoda
yang digunakan oleh institusi politik otoritarian, seperti penggunaan instrumen
birokrasi dan peraturan pemerintah, maupun manipulasi dan kekerasan secara
langsung.
Menghadapi kasus-kasus konflik
agraria, para pemegang kekuasaan yang mengurusnya-baik di pusat dan di daerah-
mencerminkan ciri yang kurang lebih sama, yaitu seolah-olah ingin menghindar
dari masalah yang rumit itu. Mulai dari yang “mengabaikan acuh tak acuh”m atau
menunda-nunda penyelesaian, sampai dengan menghadapinya dengan jalan kekuasaan,
menindas hak-hak rakyat, baik karena ingin mengedepankan kepentingannya sendiri
atau kerena melayani kepentingan para pemilik modal.
Pembaruan agraria tak dapat disangkal
merupakan jalan yang paling mungkin untuk dapat memberdayakan rakyat perdesaan
dari kedudukannya yang marjinal, sekaligus melepaskan diri dari ekspolitasi
kekuatan ekonomi besar. Pembaruan agraria adalah prosesperombakan susunan
penguasaan tanah yang diikuti oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan
fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metode bertani, hingga
infrastruktur sosial yang dibutuhkan.
“Tanah untuk mereka yang betul-betul
menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang
menjadi gemuk gendut orang-orang yang diserahi menggarap tanah itu”.
“Jangan mengira landreform yang hendak
kita laksanakan adalah komunis! Hak milik atas tanah kita akui! Orang masih
boleh punya tanah turun termurun. Hanya luasanya milik itu diatur baik maksimum
maupun minimumnya, dan hak milik atas tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial
, dan negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum memiliki kekuasaan yang
lebih tinggi dari pada hak milik perseorangan.”
(Soekarno,1960)
Komentar
Posting Komentar